Seorang
sahabat, Mimi namanya, kami bersahabat puluhan tahun sejak kami sama-sama duduk
di sekolah dasar (SD), selama beberapa tahun itu saya mengenalnya, sangat
mengenalnya, Mimi gadis sederhana, anak tunggal seorang juragan sapi perah di
wilayah kami, memiliki mata sebening kaca, dan lesung pipit yang manis menawan
siapa saja akan runtuh hatinya jika memandang senyumnya, termasuk saya’. dan
nilai tambahnya adalah dia seorang yang sangat sholehah, yang patuh pada kedua
orang tuanya.
Tetapi Ranu, Don Juan yang satu ini juga sangat menyukai Mimi, track recordnya
tidak menggoyahkannya untuk merebut hati Mimi. Sedangkan saya hanya bisa
menatap cinta dari balik senyuman tipis ketegaran.
Setiap pagi hari, petugas rutin kantor pos pasti sudah nangkring di sudut rumah
besar di ujung gang kampung kami, (rumah Mimi).
Menunggu pemilik rumah membukakan pintu demi dilewati selembar surat warna
merah jambu milik Ranu untuk sang pujaan hatinya.
Sedang Mimi yang semula tak bergeming, menjadi kian berbunga-bunga diserang ribuan
rayuan gombal milik don juan.
Merekapun pacaran dari mulai kelas 1 SMP bayangkan, hingga menikah. Sebagai
tetangga sekaligus teman yang baik, saya hanya bisa mendukung dan ikut bahagia
dengan keadaan tersebut. (walaupun hati ini meratap) Apalagi Mimi dan Ranu
saling mendukung, dan sama-sama bisa menjaga dirinya, hingga ke
Pelaminan,,Insyaallah.
Hingga tiba ketika selesai kuliah, mereka berdua ingin mewujudkan cita-cita
bersama, membina keluarga, yang sakinah, mawaddah, dan warohmah.
Namun, namanya hidup pasti ada saja kendalanya, dibalik kesejukan melihat
hubungan mereka yang adem anyem, orang tua Ranu yang salah satu anggota di
DP….!! itu, menginginkan Ranu menikahi orang lain pilihan kedua orang tuanya,
namun Ranu rupanya cinta mati dengan Mimi, sehingga mereka memutuskan untuk
menikah, sekalipun diluar persetujuan orang tua Ranu, dan secara otomatis Ranu,
diharuskan menyingkir dari percaturan hak waris kedua orang tuanya, disertai
sumpah serapah dan segala macam cacian.
Ranu akhirnya melangkah bersama Mimi, setelah menikah, mereka pergi menjauh
keluar dari kota kami, Dumai, menuju Pekan Baru, dengan menjual seluruh harta
peninggalan kedua orang tua Mimi yang sudah tidak ada, (semenjak Mimi di bangku
SMA, orang tuanya kecelakaan). Untuk mengadu nasibnya menuju ke Pekan Baru
" Kota Bertuah" Istilah si Mimi dan Ranu.
Saya hanya dipamiti sekejap, tanpa bisa berkata-kata, hanya saling bersidekap
tangan didada dan terharu panjang, Mimi menitipkan salam untuk Ibu yang sudah
dianggapnya seperti Ibunya sendiri.
Masih tajam dalam ingatan, Mimi pergi bergandengan tangan dengan sang kekasih
abadi pujaan hatinya “Ranu”, melenggang pelan bersama mobil yang membawa mereka
menuju "Kota Bertuahnya" Pekan Baru.
Selama setahun, kami masih rutin berkirim kabar, hingga tahun kelima, dimana
saya masih membujang dan masih menetap tinggal di Dumai, sedang Mimi entah
kemana, hilang tak ketahuan rimbanya, setelah surat terakhir mengabarkan bahwa
dia melahirkan anak keduanya, kemudian setelah itu kami tidak mendengar kabarnya,
lagi.
Bahkan Ibuku yang sudah berhijrah hampir tiga tahun ini di Pekan Baru tempat
kakakku juga tidak bisa melacak keberadaan Mimi, Mimi lenyap ditelan bumi,
hanya doa saya dan Ibu serta sahabat-sahabat yang lain yang masih rutin kami
panjatkan, untuk keberuntungan Mimi di sana.
Sampai di suatu siang yang terik, di hari sabtu, kebetulan saya berada dirumah
karena kantor memang libur dihari sabtu dan minggu, tiba-tiba saya dikejutkan
oleh suara ketokan pintu dikamar, mbak "Inul" patner kerja (alias Pembantu)
kami mengabarkan ada tamu dari Pekan Baru, siapa gerangan pikir saya ketika
itu.
Setelah saya temui, lama sekali saya memeperhatikan tamu tersebut, perempuan
cantik berkulit putih, tapi bajunya sangat lusuh beserta ketiga anaknya, yang
dua laki-laki kurus, bermata cekung terlihat sangat kelelahan, dan seorang bayi
mungil dalam gendongan.
Sejenak saya tertegun, lupa-lupa ingat, hingga suara perempuan itu mengejutkan
saya " Faris….Faris khan !", sejenak, dia ragu-ragu, hingga kemudian
berlari merangkul saya, sambil terisak keras dibahu saya, saat itu saya hanya
bisa diam tertegun dan tak tahu mau melakukan apa, dan saya tidak bisa menepis
karena hal ini bukan muhrimnya.
Lalu setelah ia puas menangis, pelukan itu baru lepas, ketika kami dikejutkan
oleh tangis bayi Mimi yang keras, yang rupanya tanpa kami sadari telah
menyakitinya, dan menekan bayi itu dalam pelukan kami. Masyaallah !.semoga
Allah mengampuni…..
Saya menjauhkannya dari bahu saya sambil masih ragu, berguman pelan
"Mimi…Mimikah ?" Masyaallah…!, sekarang giliran saya yang ingin
merangkul Mimi, tapi karena syari’at masih membayang dibatin. Aku hanya bisa
bersidekap tangan didada tanpa bisa meluapkan perasaanku melihat kondisinya.
Anak-anak Mimi yang melihat kami hanya termangu,
Mimi terlihat lebih tua dari usianya, namun kecantikan alaminya masih terlihat
jelas, badannya kurus, dengan jilbab lusuh, yang berwarna buram, membawa tas
koper berukuran besar yang sudah cuil dibeberapa bagian, mungkin karena gesekan
atau juga benturan berkali-kali, seperti orang yang telah berjalan
berpuluh-puluh kilometer.
Tanpa dikomando saya langsung mempersilahkan Mimi masuk kedalam rumah, membantu
membawakan barang-barangnya, dibantu mbak Inul, meletakkan barangnya di ruang
tamu, rumah saya.
Menunda beberapa pertanyaan yang telah menggunung dipikiran saya, Saya menatap
dalam-dalam, Mimi sedemikian berubahnya, perempuan manis yang dulu saya kenal
kini terlihat sangat berantakan, Masyaallah !, Mimi …ada apa denganmu!.
Saya menunda pertanyaan saya, hingga Mimi dan anak-anaknya mau saya paksa
beristirahat beberapa hari dirumah saya, ia tidur dikamar ibu yang sudah
dirapikan mbak Inul, saya rindu padanya, dan juga terharu melihat keadaannya.
Beberapa hari beristirahat dirumah saya, saya baru berani menanyakan tentang
kabar keadaannya sekarang. Kami duduk diruang tamu sambil cerita ringan.
Semula Mimi terdiam seribu bahasa pada saat saya tanya keadaan Ranu, matanya
berkaca-kaca, saya menghela nafas dalam, menunggu jawabannya lama, dalam
hitungan menit hingga keluarlah suara parau dari mulutnya…
"Mas Ranu, Ris….sudah berpulang kepada-Nya lima bulan yang lalu".
"Oh" desah saya pelan, kata-kata Mimi membuat saya tercekat beberapa
saat, namun sebelum saya sempat menimpali, bertubi-tubi Mimi menangis sambil
setengah meracau "Mas Ranu kena kanker paru-paru, karena kebiasaannya
merokok tiga tahun yang lalu, semua sisa peninggalan orang tuaku sudah habis
terjual ludes, untuk biaya berobat, sedang penyakitnya bertambah parah,
keluarga mas Ranu enggan membantu, kamu tahu sendiri khan, aku menantu yang
tidak diinginkan, dan ketika Mas Ranu meninggal, orangtuanya masih saja
membenciku, mereka sama sekali tidak mau membantu, aku bekerja serabutan di
Pekan Baru, Ris.., mulai jadi tukang cuci, pembantu rumah tangga, dsb, hingga
Mas Ranu meninggal, keluarganya, hanya memberiku uang sekedarnya untuk
penguburan Mas Ranu, hingga aku terpaksa menjual rumah tempat tinggal kami
satu-satunya, dan dari sana aku membayar semua tagihan rumah dan hutang-hutang
pada tetangga, sisanya aku gunakan untuk berangkat ke Dumai, aku tidak sanggup
mengadu nasib disana Ris…." Kata-kata Mimi berhenti disini, disambut isak
tangisnya, sedang saya yang sedari tadi mendengarkan tak kuasa juga menahan
haru yang sudah sedari tadi menyesak di dada.
Setelah kami sama-sama tenang, saya bertanya pada Mimi " Lalu apa
rencanamu, Mimi ?".
Mimi tertegun… dia memandang saya nanar, saya menundukkan pandangan, karena
saya takut terbawa rayuan syetan. kemudian dia mengulurkan tangan, memberikan
seuntai kalung emas besar, "Sisa hartanya " begitu kata Mimi.
"Ini untukmu Ris.., aku gadaikan padamu, pinjami aku uang untuk modal
usaha, dan kontrak rumah kecil-kecilan, aku tidak mau merepotkanmu lebih dari
ini Ris..".
Aku yang menahan haru, sontak mataku langsung mengalirkan sesuatu, walaupun aku
lelaki, namun hati ini bertindak sebagai makhluk tuhan yang berperasaan.
kembali kami hanyut dalam haru.
Pelan-pelan saya, meraih kalung itu dari meja, menimbang-nimbang, pikiran saya
melayang menuju sisa uang saya di amplop, dalam tas, Jum’at kemarin saya baru
saja mendapat lembur-an, sebagai pegawai di suatu instansi, nilai lembur saya
sangatlah kecil jika dibandingkan dengan pegawai yang lain tentunya, tapi
itulah sisa uang saya, saya mengeluarkan amplop tersebut dari dalam tas, di
kamar, semua saya infaqkan untuk Mimi, semata mata karena ikhlas.
Mimi menatap amplop di tangan saya, sejurus kemudian saya meletakkan amplop
tersebut diatas meja sambil berkata "Ini sisa uangku Mimi, kamu ambil,
nanti sisanya, biar saya pikirkan caranya, kamu butuh modal banyak untuk mulai
usaha"
Keesokan harinya, saya menjual kalung Mimi, pada sahabat baik saya yang lain,
kebetulan ia seorang pemodal-muslim, yang baik hati,.. "Thanks ya
Hans".., saya menceritakan tentang keadaan Mimi pada mereka, Hans dan Istrinya
banyak membantu " Ya Allah limpahilah berkah pada orang-orang baik seperti
mereka".
Singkat cerita, Mimi bisa mulai usahanya dari modal itu, mengontrak rumah kecil
didekat rumah saya, Alhamdulillah !, sekarang ditahun kedua, usahanya sudah
menampakkan hasil, Mimi sudah sedemikian mandiri, banyak yang bisa saya contoh
dari pribadinya yang kuat yaitu Mimi adalah pejuang sejati, ulet, sabar, dan
kreatif.
Kuat karena Mimi enggan bergantung pada orang lain, dan tegar karena diterpa
cobaan bertubi-tubi, Mimi tetap, kokoh, dan tidak bergeming sedikitpun, dia
juga Smart, tahu dimana dia harus meminta pertolongan pada orang yang tepat,
dan tentu saja muslimah yang taat beribadah, hingga Allah pun tak enggan
membantunya.
Saya hanya berpikir dan yakin pasti ada jutaan Mimi-Mimi, diluar sana, akan
tetapi pastinya sangat jarang yang melampui cobaan bertubi-tubi seperti dirinya
dengan Indahnya.
Saya hanya ingin berbagi…..cobalah kita lihat, Mimi tetangga saya kini dan
setiap pagi selalu menyapa riang saya, wajah cantiknya kembali bersinar,
meskipun ia menyandang status janda. Yang kemudian dia tekun mendengar keluh
kesah saya pada setiap permasalahan saya hadapi setiap harinya, termasuk ketika
saya mulai mengeluh tidak betah dikantor sebagai pegawai sekian tahun, atau
ketika saya menghadapi badai kemelut usia yang yang sudah berkepala tiga, apa
kata Mimi
"Faris, Allah tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan
seseorang atau Allah lebih tahu apa yang terbaik bagimu, sedangkan kamu
tidak".
Subhanallah ! Mimi, contoh kekuatan wanita muslimah, ada disana.
Dan jika saya sudah menyerah kalah pada permasalahan bertubi-tubi dalam hidup
saya, maka Mimi membawa saya menuju pintu rumah mungilnya, didepan pintunya,
saya melihat kepulasan tidur anak-anaknya di ruang tamu yang ia jadikan ruang
tidur, sedangkan kamar tidur ia jadikan dapur untuk memasak, (sungguh rumah
yang mungil) mereka berjejal pada tempat tidur susun yang reyot, dan juga
tempat tidur gulung kecil dibawahnya, tempat si sulungnya tidur, kemudian katanya,
"Lihatlah Ris, betapa berat menjalani hidup seorang diri, tanpa bantuan
bahu yang lain, kalau tidak terpaksa karena nasib, enggan aku menajalaninya,
Ris, sedang kamu, bersyukurlah kamu, masih memiliki masa depan yang panjang
".
Duh, gusti betapa baik hati Mimi ini, betapa malu saya dihadapannya, cobaan
saya, tentu jauh lebih ringan dibanding dirinya, tapi betapa saya jarang
bersyukur, sering mengeluh, dan sering merasa kurang.
"Stupid mind in the Stupid ordinary " Yang jelas watak Mimi dan
kekuatannya menumbuhkan satu prinsip dihati saya bahwa " Karena aku adalah
lelaki, aku harus kuat dan tegar lebih dari wanita ini dalam menghadapi
badai sekeras apapun, jika mungkin jauh lebih kuat dan tegar demi tangan-tangan
mungil yang mungkin akan menjadi tangan-tangan perkasa yang siap mencengkram
dunia, Insyaallah Amien"
Singkat cerita, saya pun berhenti dari pekerjaan yang lama, sekarang saya
bekerja lebih mapan dari yang dulu. Karena setiap pulang kerja saya melintas
didepan rumah Mimi, dan terus memperhatikan ketegarannya, akhirnya Allah
menumbuhkan kembali cinta dihatiku. Sampai suatu saat aku pun melamarnya agar
hubungan kami dihalalkan oleh syari’at. Mimi hanya bisa menunduk malu dan
tersenyum melihat anak-anaknya yang akan memiliki ayah yang baru. Dalam hati,
Mimi bertakbir dan bertahmid melihat kekuasaan Allah..
Allahu Akbar.
Cerpen Karya : Rudi Al-Farisi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar